Pages

Sunday, December 30, 2018

Kontribusi Industri RI di Atas Rata-Rata Tingkat Dunia

Jakarta: Norma baru dalam kontribusi industri terhadap produk domestik bruto (PDB) saat ini sedang terjadi. Di tingkat dunia, sudah tidak ada lagi sumbangan sektor manufaktur kepada ekonomi negara yang mencapai 30 persen.

"Jadi, ini ada realitas baru, kita tidak bisa menyamakan konteks sekarang pada paradigma ekonomi yang lalu," kata Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto, dalam keterangan tertulisnya, Senin, 31 Desember 2018.

Menurutnya ketika membandingkan kontribusi industri pada 2001 dengan era saat ini, tentunya berbeda.

"Kendati waktu itu kontribusi industri hampir 30 persen, dan kita hampir takeoff, tetapi berhenti karena krisis ekonomi yang dipicu oleh keuangan. Cukup panjang dampaknya. Selain itu, kita dininabobokan oleh commodity booming. Pasca-2014, baru kita revitalisasi lagi sektor manufakur," paparnya.

Menperin memperlihatkan data World Bank 2017, bahwa saat ini negara-negara industri di dunia, kontribusi sektor manufakturnya terhadap perekonomian rata-rata sekitar 17 persen. Namun, ada lima negara yang sektor industri manufakturnya mampu menyumbang di atas rata-rata tersebut, yakni Tiongkok (28,8 persen), Korea Selatan (27 persen), Jepang (21 persen), Jerman (20,6 persen), dan Indonesia (20,5 persen).

"Kalau merujuk data tersebut, saat ini tidak ada negara di dunia yang bisa mencapai di atas 30 persen," ujarnya.

Sementara itu, negara-negara dengan kontribusi industrinya di bawah rata-rata 17 persen, antara lain Meksiko, India, Italia, Spanyol, Amerika Srikat, Rusia, Brasil, Prancis, Kanada, dan Inggris.

"Bahkan, sekarang pertumbuhan ekonomi global tidak lagi dua digit. Di Tiongkok saja single digit. Namun, Indonesia merupakan negara terbesar di ASEAN, ekonominya sudah masuk dalam klub USD1 triliun, atau sepertiga dari ekonominya ASEAN," imbuhnya.

Sementara, jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi, Indonesia mampu mencapai 5,2 persen atau di atas rata-rata perolehan ASEAN sebesar 5,1 persen. Artinya, Indonesia berperan penting dalam memacu perekonomian di ASEAN.

Airlangga menambahkan ASEAN merupakan mesin kedua terbesar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dunia, setelah kontribusi dari Tiongkok. Kawasan Asia Tenggara yang memiliki lebih dari 500 juta jiwa penduduk ini, dinilai menjadi pasar potensial dalam membangun basis produksi manufaktur.

"Dengan adanya perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat, Indonesia juga diuntungkan. Pertama, investasi di antara kedua negara itu meminta negara lain untuk ikut berpatisipasi, termasuk Indonesia," tuturnya.

Selain itu, adanya rencana relokasi perusahaan Tiongkok ke Indonesia untuk menghindari tarif akibat perang dagang tersebut. Kemudian, kebijakan Belt and Road dari Tiongkok, juga menguntungkan bagi Indonesia. Sejumlah investor dari Negeri Tirai Bambu itu membidik Indonesia menjadi salah negara tujuan utama untuk ekspansi.

Melihat kondisi tersebut, menurut Airlangga, saatnya Indonesia membangkitkan kembali sektor industri sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, pemerintah saat ini fokus menciptakan iklim investasi yang kondusif dan memudahkan berbagai perizinan usaha.

"Kalau kita melihat, purchasing manager index (PMI) manufaktur Indonesia, selama 2018 itu di atas level 50 atau berada tingkat positif. Artinya, mood manufaktur Indonesia untuk ekspansi cukup tinggi," jelasnya.

Oleh karena itu, Menperin optimistis, implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0 dapat merevitalisasi sektor industri manufaktur agar lebih berkontribusi tinggi terhadap perekonomian nasional. Sasaran besarnya adalah menjadikan Indonesia masuk dalam jajaran 10 besar negara dengan perekonomian terkuat di dunia pada 2030.

 

(AHL)


Let's block ads! (Why?)


http://bit.ly/2SoJQ3f
December 31, 2018 at 12:09PM from METROTVnews.com http://bit.ly/2SoJQ3f
via IFTTT

No comments:

Post a Comment